Indonesia punya banyak tim sepakbola tradisional dan pendukung fanatik. Aremania (Arema Malang), Jakmania (Persija Jakarta), Viking (Persib Bandung), Bonek (Persebaya Surabaya), dan Pasoepati (Persis Solo) adalah beberapa nama basis suporter yang banyak memiliki anggota. Namun, hubungan Bonek dan Pasoepati mungkin menyimpan kisah unik dan mengharukan.
Awal Konflik
Dari kacamata sejarah, hubungan kedua suporter terlampau buruk, hingga ada istilah memakai baju Bonek di Solo sama saja cari mati, begitu juga sebaliknya. Seperti halnya perseteruan suporter lain, ada banyak pendapat mengenai asal muasal perseteruan Pasoepati dan Bonek.
Pada dasarnya, terdapat kecenderungan manusia untuk memperkuat pendapatnya sendiri. Setiap kubu suporter selalu punya alasan sendiri-sendiri jika ditanyai kubu mana yang memulai lebih dulu.
Sebelum berseteru, sebenarnya keduanya pernah berkawan seperti biasa, sewaktu klub kebanggaan Pasoepati masih Pelita Solo. Pasoepati pernah berkunjung ke Surabaya pada sekitar era 2000-an, begitupula sebaliknya Surabaya melakukan kunjungan balik.
Resolusi Konflik
Dulu sempat dikenal slogan “From Solo with Love” dari Presiden Pasoepati saat itu, Mayor Haristanto. Beliau memimpin aksi simpatik membagi bunga dari Pasoepati sepanjang jalan menuju Stadion Tambaksari.
Namun, masalah suporter bukan hanya terkait satu organisasi yang solid dan terdata dengan jelas. Suporter terdiri dari orang-orang dengan berbagai latar belakang kepribadian dan sistem pola pikir. Itupun belum ditambah faktor X yang berasal dari sebuah minuman khas suporter. Untuk permasalahan Bonek, warga Solo dan sekitarnya pun juga turut “ikut campur”.
Puncaknya, pada tanggal 25 Januari 2011, kereta yang ditumpangi Bonek pasca mendukung tim kesayangan dari Bandung, menjadi sasaran empuk warga Solo dengan hujan batu yang mencekam. Semenjak itu hubungan kedua kelompok suporter sangat buruk, hingga baju “F**ksoepati” dan “Bonek J****k laku keras di pasaran.
Namun, semenjak kedua kelompok suporter mendukung tim asal Liga Primer Indonesia, yakni Solo FC dan Persebaya 1927, mulai bermunculanlah suporter-suporter berhati nurani. LPI saat itu menjadi momentum timbulnya benih-benih persahabatan antara Pasoepati dan Bonek.
Tidak semua suporter yang mendiami suatu wilayah tertentu mendukung tim di kota tersebut, ada juga suporter yang merantau. Walaupun sudah jauh dari stadion kesayangan, namun jiwa mereka masih tertambat di sana, dengan tidak merubah identitas sebagai suporter kampung halaman.
Media Sosial
Sebagai contoh, Hendra, seorang Bonek asal Kota Pahlawan ini bekerja di Solo dan memiliki tempat tinggal di kawasan Surakarta. Demi terciptanya perdamaian, lelaki berkacamata ini rela mengambil resiko menjalin hubungan dengan rekan-rekan Pasoepati Ultras.
Bukan hanya Hendra, masih banyak tokoh-tokoh dari kedua kelompok suporter yang bergerak di bawah radar untuk mengawal perdamaian keduanya. Kebanyakan aksi mereka terjadi dari interaksi media sosial.
Salah satu aksi nyata perdamaian ini adalah ketika rombongan Bonek menyempatkan diri untuk mengunjungi markas Pasoepati Walet Merah (WAM). Markas Pasoepati WAM berada di dekat Pasar Tanggul, Warungmiri.
Pada 16 April 2011, sebelum mendukung Persebaya 1927 di Semarang, puluhan Bonek bercengkerama dan sempat berfoto bersama pimpinan WAM, Iwan Walet. Ditraktir tahu kupat, Grandong, seorang Bonek berambut gimbal menyesal tidak sempat menghabiskannya karena harus mengkoordinir anggotanya.
(Berlanjut)
Keterangan: Artikel ini ditulis oleh Andika Sanjaya ketika sedang menempuh studi S1 Ilmu Komunikasi Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta. Tulisan asli ditulis pada sekitar tahun 2011 dan diolah lagi oleh penulis.
Scout Indonesia |
Comments
Post a Comment